Menurutnya, penanganan kasus kekerasan seksual harus berpusat pada pengalaman korban.
BACA JUGA:Ini Harapan LPSK pada Pemerintahan Prabowo-Gibran
Oleh karena itu, meskipun secara kasat mata pelaku dianggap tidak memungkinkan untuk melakukan tindak pidana, fakta yang disampaikan korban tetap harus didengar untuk memastikan kebenaran.
Sri Nurherwati menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah mengatur hak penyandang disabilitas dalam memperoleh keadilan, termasuk dalam kapasitas mereka sebagai pelaku, korban, maupun saksi.
Negara wajib menyediakan akomodasi yang layak dalam proses peradilan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak dalam Proses Peradilan.
"Perlindungan terhadap korban kekerasan seksual melibatkan pendampingan hukum dan dukungan psikologis yang sangat penting," kata Sri Nurherwati.
BACA JUGA:LPSK Tekankan Keadilan untuk Korban Kasus TPSK oleh Disabilitas di NTB
BACA JUGA:LPSK Kolaborasi dengan PT Semen Padang dalam Pemulihan Korban Tindak Pidana
"Kami memastikan korban siap memberikan keterangan tanpa rasa takut atau malu agar hak-hak mereka dapat terpenuhi dengan sebaik-baiknya," lanjut dia.
Selain itu, ia juga menyoroti pentingnya restitusi bagi korban kekerasan seksual.
Menurutnya, Undang-Undang TPKS telah menegaskan bahwa restitusi adalah hak korban.
"Restitusi bukanlah sesuatu yang bersifat transaksional, melainkan hak korban yang menjadi tanggung jawab pelaku," tegasnya.
BACA JUGA:LPSK Tindaklanjuti Permohonan Perlindungan Korban dan Saksi Kasus Peyerangan di Deli Serdang
BACA JUGA:Kolaborasi dan Proaktif LPSK dalam Penanganan Perkara TPPO di NTT
Restitusi diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan diperkuat melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban.