Pedagang Dawet di Kota Batu yang Kini Jadi Guru Besar Bidang Gunung Api di Universitas Brawijaya Malang

Pedagang Dawet di Kota Batu yang Kini Jadi Guru Besar Bidang Gunung Api di Universitas Brawijaya Malang

Prof. Sukir Maryanto dalam Webinar SEVIMA. Foto : DOK PRIBADI FOR ENIMEKSPRES.CO.ID--

MALANG, ENIMEKSPRES.CO.ID - Pantang menyerah adalah prinsip yang selalu dipegang teguh oleh Prof. Sukir Maryanto, S.Si, M.Si, Ph.D.

Ia lahir di Sukoharjo, Jawa Tengah, pada 21 Juni 1971, perjalanan hidupnya penuh dengan tantangan.

Namun, berkat semangatnya yang tak kenal lelah, ia berhasil mencapai puncak karier akademis sebagai Guru Besar di bidang Gunung Api (Vulkanologi) dan Panas Bumi (Geothermal) di Universitas Brawijaya (UB).

Kecintaannya terhadap ilmu fisika telah tumbuh sejak muda, dan ketertarikannya pada vulkanologi muncul dari keinginan untuk berkontribusi dalam bidang yang jarang diminati.

BACA JUGA:Prof. Iskhaq Iskandar: Perjuangan Sang Kondektur Bus Kota Palembang jadi Guru Besar Universitas Sriwijaya

"Sebanyak 13 persen gunung api di dunia, ada di Indonesia. Jadi menurut saya, gunung api itu harus dipelajari, karena selain ada potensi bahaya, ada pula potensi energinya," ujar Prof. Sukir dengan penuh semangat dalam Webinar SEVIMA, seperti rilis yang diterima enimekspres.co.id.

Bagi Sukir, mempelajari gunung api bukan sekadar ilmu, melainkan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat dan lingkungan.

Namun, perjalanan menuju gelar profesor tidaklah mudah. Sukir harus menghadapi banyak rintangan, termasuk kesulitan ekonomi yang hampir membuatnya putus asa.

Sejak kecil, putra pasangan Sastrodiharjo dan Santinah ini telah terbiasa bekerja keras membantu keluarganya berjualan berbagai jenis makanan.

BACA JUGA:Sekda Sumsel Apresiasi Digelarnya SULE-IC Unsri Tahun 2024

"Sebelum sekolah, saya harus bangun untuk sholat subuh dan merapikan kantin, sempat juga saya berjualan makanan di bawah pohon, di rumah sakit. Saya ikut mengerjakan apa saja, tidak pilih-pilih," kenangnya.

Ketika keluarganya mengikuti program transmigrasi ke Jambi Pulau Sumatera, Sukir, yang masih kecil, memilih menetap di Sukoharjo bersama budenya.

Namun, ketika orang tuanya jatuh sakit, ia memutuskan untuk bergabung dengan mereka di Jambi.

Perjalanan panjang dan melelahkan itu dilalui dengan tiga hari perjalanan naik bus seorang diri dan membawa satu dus penuh buku, satu-satunya harta berharga yang ia miliki.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: