Menyoal Nepotisme dalam Pemilihan Langsung

Menyoal Nepotisme dalam Pemilihan Langsung

FERDIAN ANDI . FOTO : IST/ENIMEKSPRES.CO.ID--

Oleh

FERDIAN ANDI 

PERSOALAN korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadi salah satu isu utama yang disuarakan saat reformasi 1998, hampir 25 tahun lalu. MPR menetapkan Tap MPR No XI/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Setahun kemudian, Tap MPR itu dituangkan dalam UU 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.

Pada saat yang sama, pembatasan jabatan presiden/wakil presiden juga menjadi aspirasi yang disuarakan kuat oleh publik. MPR merespons dengan menetapkan Tap MPR No XIII/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden/Wakil Presiden maksimal dua periode. Pembatasan itu juga tertuang dalam Pasal 7 UUD 1945 melalui amandemen pertama pada 1999.

Dua persoalan tersebut pada dasarnya memiliki keterhubungan satu dengan lainnya, sehingga berlaku hukum kausalitas. Kekuasaan yang tak terbatas akan berdampak pada lahirnya praktik KKN.

Dalam perjalannya hingga kiwari, larangan nepotisme menjadi norma yang makin tak bermakna. Praktik nepotisme dinormalisasi atas nama demokrasi melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Normalisasi itu puncaknya melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 33/PUU-XIII/2015 yang membatalkan norma di Pasal 7 huruf r UU No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

BACA JUGA:Kemenag Imbau Umat Islam Gelar Salat Gaib Doakan Korban Gempa Turki dan Suriah

BACA JUGA:Kementerian Agama Ajak UMKM Daftarkan Sertifikat Halal Untuk Semua Produk, Begini Caranya

Putusan MK itu mengakibatkan tak ada lagi larangan untuk maju menjadi calon kepala daerah bagi siapa saja yang memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah atau ke samping dengan petahana kepala daerah. Meskipun norma yang tertuang dalam UU Pilkada cenderung menyederhanakan persoalan dalam praktik nepotisme.

Namun, di sisi lain, amanat reformasi sebagaimana tertuang dalam Tap MPR XI/1998 dan UU No 28 Tahun 1999 di atas juga menjadi satu hal yang tak bisa dinafikan. Di poin ini, praktik nepotisme dalam pemilihan langsung harus distop.

Merusak Demokrasi

Nepotisme bermuara dari kepemilikan kewenangan dan kekuasaan untuk memengaruhi pihak lain guna mendapatkan perlakuan khusus demi kepentingan sanak saudara dan kroni. Gitanjali Roy (2021) menyebutkan, praktik nepotisme bertumpu pada penggunaan pengaruh kekuasaan dalam sebuah sistem untuk keuntungan sanak saudaranya. Nepotisme yang merupakan bagian dari aktivitas favoritisme berbasis pada klik yang ditujukan untuk anggota keluarga, kroni, dan jejaring yang dimiliki.

BACA JUGA:Dewan Pendidikan Kabupaten Muara Enim Gelar Lomba Baca Tulis Alquran Tingkat SMP

BACA JUGA:Kaffah Dukung Program Pertanian Semende Raya, Ini yang Dilakukan Pemkab Muara Enim

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: