Homeschooling: Jalan Merdeka Sejati Menuju Pendidikan Anak

Oleh: Ronatal Christian Sitinjak

BULAN Agustus selalu membangkitkan semangat kemerdekaan.

Kita merayakannya dengan berbagai cara, dari upacara, karnaval, hingga lomba-lomba yang meriah.

Namun, di tengah gemuruh perayaan, ada satu pertanyaan fundamental yang sering luput dari perhatian: sudahkah kita merdeka dalam hal yang paling mendasar, yaitu pendidikan?

Beberapa tahun lalu, mantan Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim, memperkenalkan konsep "Merdeka Belajar" yang disambut dengan antusiasme.

Gagasan ini menawarkan angin segar di tengah sistem pendidikan yang kaku.

Merdeka Belajar bukan berarti belajar tanpa arah, melainkan memberikan ruang bagi siswa untuk menemukan cara belajar terbaik bagi dirinya, mengeksplorasi minat dan potensinya, serta mengutamakan pemahaman daripada sekadar nilai.

Ironisnya, bagi sebagian besar orang, konsep ini masih terasa sebagai wacana belaka.

Sistem pendidikan konvensional dengan jadwal yang padat, kurikulum yang seragam, dan tekanan nilai masih menjadi realitas sehari-hari.

Di sinilah saya menemukan jawaban, sebuah jalan yang sudah lebih dulu mempraktikkan "merdeka belajar" jauh sebelum istilah itu populer : homeschooling.

Banyak orang salah kaprah mengira homeschooling hanyalah "sekolah di rumah."

Padahal, ia adalah sebuah filosofi dan sistem pembelajaran yang jauh lebih fleksibel, personal, dan berbasis pada kebutuhan unik setiap anak.

Saya bisa membuktikan bahwa homeschooling adalah manifestasi nyata dari kemerdekaan dalam pendidikan.

Di Indonesia, homeschooling diakui secara hukum melalui UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan diatur lebih rinci dalam Permendikbud Nomor 129 Tahun 2014.

Pemerintah juga memberi peluang bagi peserta homeschooling untuk mengikuti ujian kesetaraan (Paket A, B, atau C) agar ijazah mereka diakui setara dengan pendidikan formal.

Sumber: