Selama informasi masih diragukan, wartawan tidak boleh menjadikannya sebagai bahan berita. Kalau masih ragu, tinggalkan (doubt, leave it).
Wartawan dituntut mencari kebenaran informasi melalui daya pikir kritis, melihat dan menggali informasi dari berbagai sisi.
Mulai dari melihat lokasi kejadian/pengamatan lapangan sampai wawancara dengan berbagai pihak yang berkompenten.
Untuk mendapatkan informasi yang benar, wartawan harus detil dan berpikir kritis dalam melakukan wawancara.
Wartawan selalu mengejar penjelasan sumber yang belum jelas dan masuk akal.
Pertanyaan “mengapa (why)” harus sering diajukan sebagai pertanyaan, selain “apa, kapan, di mana, siapa, dan bagaimana”.
Kesannya wartawan yang berpikir kritis itu menjadi cerewet.
“Wartawan itu cerewet, pengecam, penasihat, pengawas, penguasa dan guru bangsa. Empat surat kabar musuh lebih aku takuti daripada seribu bayonet” demikian kata Napoleon Bonaparte yang tersohor dan dikutip di mana-mana.
Napoleon (1769- 1821), sang kaisar dan komandan militer Perancis menggambarkan wartawan sebagai sosok yang cerewet.
Kecerewetan itu pantulan dari pikiran kritis. Bukan itu bukan ini, tapi yang lain, yang benar.
Pikiran kritis digunakan untuk menggali informasi yang benar.
Kebenaran yang diharapkan sesuai nalar sehatnya, bukan kebenaran yang dipaksakan oleh penguasa atau orang lain yang punya kepentingan.
Kebenaran yang dipaksakan oleh penguasa itu seperti yang dipraktikkan dalam kehidupan bermedia di zaman otoritarian awal abad 15 ketika Johannes Gutenberg baru memperkenalkan mesin cetak untuk media di Eropa.
Setelah otoritarian yang menjadikan media sebagai corong penguasa tumbang karena tidak sesuai demokrasi, maka hiduplah masa libertarian.
Bukan Manusia Pasif
Dalam libertarian, manusia tidak lagi dipandang pasif dalam menerima kebenaran.