Oleh: Mohammad Nasir
Penulis adalah Ketua Bidang Pendidikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat (Periode 2023- 2028), aktif sebagai anggota Kelompok Kerja Komisi Pendidikan, Pelatihan, dan Pengembangan Profesi Pers Dewan Pers. Bekerja sebagai Wartawan Harian Kompas (1989- 2018).KEBEBASAN, berpikir kritis, dan selalu skeptis adalah satu rangkaian sebagai upaya mencari kebenaran.
Kebebasan, termasuk berpikir kritis menjadi hak asasi manusia yang paling hakiki.
Kebebasan atau kemerdekaan secara umum di dalamnya termasuk kebebasan pers dan wartawan berpikir kritis tanpa batas.
Sejauh masih bisa berpikir, pergunakanlah akal sehat bebas berpikir dengan jangkauan luas dan mendalam.
Hidup macam apa, kalau berpikir saja takut.
Untuk mengukuhkan kebebasan telah ditegaskan dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”
Kebebasan atau kemerdekaan pers selanjutnya ditetapkan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Dalam konsiderans UU tentang pers itu disebutkan, kemerdekaan pers diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kemerdekaan pers UU Pers pada Bab II Pasal 2 disebutkan, “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”.
Kemudian di bab yang sama pada pasal 4 ayat 1 dilanjutkan, “Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara”.
Dilanjutkan ayat 2 sebagai penegasan: “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
Pada ayat 3 pasal yang sama ditegaskan lagi, “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi”.
Itulah kebebasan pers yang dikuatkan oleh undang-undang.
Sebelumnya, kebebasan pers tidak mendapatkan perlindungan hukum.
Atmakusumah, pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo dalam tulisannya (tahun 2014) menjelaskan, keadaan kebebasan pers sebelumnya, seperti ketika surat kabar pertama bernama Bataviaasche Nouvelles en Politique Raisonnementen (Berita dan Penalaran Politik Batavia) yang diterbitkan di Batavia 7 Agustus 1744, kebebasan pers belum mendapatkan jaminan perlindungan hukum berupa undang-undang seperti UU Pers 40/1999.