Lanjutnya, pengajuan kedua kandidat yaitu Ahmad Usmarwi Kaffah dan Muhammad Yuddistira Syahputra yang diusulkan oleh PKB, Partai Hanura, dan Partai Demokrat, telah memunculkan spekulasi dan berbagai pertanyaan dari masyarakat.
“Apakah kedua kandidat yang diusulkan tersebut masih memenuhi syarat hukum untuk dilakukan pemilihan oleh DPRD,” tanya Firmansyah.
Opini yang berkembang setidaknya yang dijadikan landasan hukum oleh partai politik pengusung yaitu Pasal 176 UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada (disingkat UU Pilkada).
Pasal 176 UU Pilkada, pada ayat 1 disebutkan dalam hal wakil bupati berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan, pengisian wakil bupati dilakukan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD kabupaten berdasarkan usulan dari partai politik atau gabungan partai politik.
Pada ayat 2 partai politik atau gabungan partai politik pengusung mengusulkan 2 orang calon wakil bupati, untuk dipilih dalam rapat paripurna DPRD.
Selanjutnya, sambung Firmansyah, pada ayat 4 pengisian kekosongan jabatan wakil bupati dilakukan jika sisa masa jabatan lebih dari 18 bulan terhitung sejak kosongnya jabatan itu.
Dari ketentuan ini, kata dia, pengisian jabatan wakil bupati dilakukan melalui mekanisme pemilihan di DPRD dengan syarat sisa masa jabatan lebih dari 18 bulan terhitung sejak kosongnya jabatan tersebut.
Adanya frasa “jika sisa masa jabatan lebih dari 18 bulan terhitung sejak kosongnya jabatan itu” dalam Pasal 176 ayat 4 harus ditafsirkan secara hati-hati.
Sebab jika hanya dibaca pada anak kalimat “sejak kosongnya tersebut” dapat bermakna seakan-akan sisa jabatan boleh dihitung mundur (berlaku surut).
Penafsiran yang keliru ini, terangnya, setidaknya telah menjadi penyebab berlarut-larutnya pengisian kekosongan jabatan wakil bupati.
“Seharusnya ditafsirkan berdasarkan kondisi faktual sisa masa jabatan yang dapat dilaksanakan hingga berakhirnya masa jabatan. Memang, pasal ini tidak mengatur sanksi sehingga cepat atau lambat pencalonan itu diajukan tergantung dari partai politik yang bersangkutan,” katanya.
Pada kasus Muara Enim, kekosongan jabatan wakil bupati terjadi sejak ditinggalkan H. Juarsah karena diangkat menjadi bupati terhitung sejak November 2020 dan akan berakhir pada Juni 2023.
Dari sisi waktu sejak November 2020 sampai Juni 2023 sisa masa jabatan lebih dari 18 bulan, dengan demikian Pasal 176 ayat 4 UU Pilkada terpenuhi dan partai pengusung dapat mengajukan paling sedikit 2 nama calon wakil bupati untuk dipilih di DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 ayat 2 UU Pilkada.
BACA JUGA: Pemilihan Wakil Bupati Muara Enim, DPRD Tunggu Usulan Bupati
Tetapi, pada kenyataannya waktu berjalan terus, sementara kandidat untuk mengisi kekosongan jabatan wakil bupati belum juga diusulkan.
Hal ini jelas merupakan kelalaian dan menjadi tanggung jawab partai politik itu sendiri tidak segera mengusulkannya. Usulan tersebut baru disampaikan di Juli 2022 untuk dilakukan pemilihan.