BACA JUGA:Bukan Pesimistis, Cuma Realistis
Oleh karena itu, berbicara tentang putusan MK, maka putusan tersebut haruslah progresif, kualitatif dan substantif dengan beberapa alasan.
Pertama, putusan MK yang dibuat dengan memuat “irah-irah” (kepala putusan) yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa”.
Artinya, putusan MK memiliki tanggungjawab transcendental, tanggung-jawab ilahiyah.
Tidak hanya memiliki pertanggungjawaban kepada manusia, kepada masyarakat, kepada bangsa dan negara. Tanggungjawabnya tidak hanya di sini, tapi juga di sana (dalam kehidupan sesudah mati).
BACA JUGA:Menyoal Nepotisme dalam Pemilihan Langsung
Kedua, ada cacat prosedural dan substantif.
Ada kebohongan, manipulasi dan akal-akalan dari sejak awal pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres.
Mengapa? Karena peran pamannya, Anwar Usman, selaku ketua MK yang melalui putusan MK No.90 meloloskan Gibran padahal melanggar ketentuan UU Pemilu dan Peraturan KPU.
Dan karena kebohongannya Anwar Usman tersebut diberhentikan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) melalui putusan MKMK No.02.
BACA JUGA:Penyebab Timbulnya Masalah Hukum di Bidang Kesehatan
Apakah bangsa dan negara ini akan dibangun dari kebohongan dan ketidakjujuran?
Apakah kepemimpinan nasional akan dilahirkan dari proses nista seperti itu?
Bukankah sering diungkapkan a leader is not made but born? (pemimpin itu dilahirkan dan bukan direkayasa?)
Melalui Putusan MK No 90 Tahun 2023 Gibran tak tau malu mendaftarkan sebagai Cawapres Prabowo Subianto dan Prabowo menikmati semua privilege bersama anak Presiden RI itu.
Padahal, putusan No 90 tersebut bukan self-executing, artinya KPU harus merubah terlebih dahulu Peraturan KPU (PKPU No. 19 tahun 2019) tapi ini tak dilakukan KPU.