Selanjutnya kasus kekerasan seksual kedua terbanyak terjadi di pesantren. Sepanjang tahun 2021 terdapat 18 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan. Dengan rincian, terjadi di sekolah umum 4 kasus (22,22%) dan yang terjadi di pesantren 14 kasus (77,78%).
Kemudian kasus kekerasan seksual mayoritas terjadi di sekolah yang menggunakan sistem boarding school (asrama) dengan 66,66%.
Selain itu, berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2021 terdapat 197 anak berusia 3-17 tahun yang menjadi korban kekerasan seksual. 197 anak tersebut terdiri dari 126 anak perempuan, dan 71 anak laki-laki. Lalu pelaku kekerasan seksual dilakukan oleh guru sebanyak 55,55%, kepala sekolah 22,22%, pengasuh pondok 11,11%, tokoh agama 5,57% dan pembina sebanyak 5,56%.
Berdasarkan data-data di atas, menjadikan kasus-kasus kekerasan seksual di Indonesia layaknya fenomena gunung es. Dimana kasus yang ada di permukaan belum tentu mencerminkan jumlah kasus yang sebenarnya terjadi. Karena dapat dipastikan masih banyak kasus yang tidak terlaporkan.
Belum adanya sistem perlindungan bagi korban di lingkungan sekolah membuat korban takut untuk melapor. Selain itu, kurangnya pemahaman terhadap bentuk-bentuk kekerasan seksual, seringkali jika ada laporan dari murid itu akan diabaikan atau tidak ditanggapi dengan serius.
Kemudian adanya ancaman dan intimidasi baik secara fisik maupun psikis membuat korban juga semakin enggan untuk melapor. Sehingga jika ada yang sudah terlanjur melapor, maka kasus akan berakhir karena sudah diselesaikan secara kekeluargaan.
Padahal dampak kekerasan seksual terhadap perkembangan anak itu sangat besar. Karena kekerasan seksual dapat mempengaruhi karakter anak. Dampak paling parah adalah 70% korban kekerasan seksual rawan menjadi pelaku kekerasan seksual di masa mendatang.
Selain itu, dampak lain dari kekerasan seksual dapat menyebabkan depresi, fobia, mimpi buruk, curiga terhadap orang lain, membatasi diri dengan lingkungan. Bahkan jika korban mengalami trauma psikologis yang parah dapat menyebabkan bunuh diri.
Dalam upaya pencegahan dan penanganan terhadap kasus-kasus kekerasan seksual. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) secara masif ke seluruh lembaga pendidikan baik umum maupun agama. Serta pemerintah juga harus segera membuat aturan turunan dari UU TPKS, agar penerapannya lebih maksimal.
Sehingga peserta didik maupun tenaga pendidik juga menjadi tahu dan paham bahwa pelaku pelecehan dan kekerasan seksual dapat dipidanakan. Selain itu, seluruh lembaga pendidikan harus membuat layanan pengaduan pelecehan dan kekerasan seksual yang mudah diakses.
Namun, layanan pengaduan tersebut harus diisi oleh orang-orang profesional, yaitu orang yang telah lulus seleksi yang diselenggarakan oleh pemerintah, Komnas HAM dan KPAI. Agar para korban yang mengalami pelecehan dan kekerasan seksual dapat segera melapor. Karena, tidak adanya layanan pengaduan membuat korban semakin takut untuk speak up.
Pemerintah melalui dinas pendidikan juga harus melakukan sosialisasi dan edukasi tentang pendidikan seks ke seluruh lembaga pendidikan. Sebab mayoritas korban kebanyakan berusia praremaja dan remaja.
Sehingga pendidikan seks dapat memberikan pemahaman agar anak dapat menjaga diri dan terhindar dari aksi pelecehan dan kekerasan seksual. Selain itu, agar anak-anak juga dapat terhindar dari perilaku seks bebas.
Kemudian Kementerian Agama juga harus secepatnya membuat aturan mengenai pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan di bawah kementeriannya.
Kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di pesantren belakangan ini membuat orang tua khawatir untuk menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan agama baik itu sekolah umum maupun pesantren.
Oleh karena itu, Kementerian Agama harus segera merespon kejadian ini dengan mengeluarkan berbagai kebijakan agar lembaga pendidikan agama bisa segera membentuk satuan tugas sehingga kasus pelecehan dan kekerasan seksual tidak terjadi lagi.