Ulang Tahun SMSI: Sewindu Mengarungi Disrupsi Multidimensi

Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Firdaus. Foto : Istimewa--
Ini juga ikut menggerus kerja media pers.
Sudah tidak terbilang entah berapa kali AI didiskusikan dan diseminarkan di dalam dan luar negeri, untuk keperluan berbagai bidang pekerjaan, termasuk bidang jurnalisme dan bisnis media.
Akan tetapi masih banyak pertanyaan dan keraguan terhadap kemampuan AI sebagai mesin pendaur ulang informasi yang melimpah-ruah setiap hari.
Keraguan terhadap AI dalam menyeleksi data dan informasi dianggap masih lemah.
Antara hoax dan fakta belum dipilah secara meyakinkan.
Di sinilah AI seringkali diletakkan sebagai pihak yang berlawanan dengan kerja jurnalisme yang mengedepankan fakta, data, dan verifikasi ketat terhadap kebenaran informasi sebelum disuguhkan sebagai berita.
Selain berlawanan dalam prinsip kebenaran fakta dan data, juga menjadi perlawanan dalam bisnis bermedia.
SMSI tidak kaget dalam situasi seperti sekarang ini.
Kelahiran SMSI delapan tahun silam memang menjawab keadaan disrupsi teknologi dan transformasi sosial yang sedang melanda media massa saat itu.
Perusahaan media massa banyak yang bangkrut, sebagian tutup, awak media seperti wartawan dan tenaga pendukung terpaksa dirumahkan, diberhentikan tanpa batas waktu.
Tenaga kerja di bidang pers banyak yang menganggur.
Yang masih bertahan bekerja harus beradaptasi dengan cara kerja baru: serba internet.
Mereka yang bisa beradaptasi tetap lanjut bekerja dengan imbalan kesejahteraan yang minimal, karena iklan tidak lagi seperti sebelum terjadi disrupsi.
Keadaan seperti ini tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia, termasuk di Tiongkok yang medianya disubsidi dana oleh negara.
Tenaga bidang pers yang berantakan tidak terurus seiring datangnya disrupsi, secara alamiah mengalir ke media digital/siber yang paling mudah disiapkan, dengan pola bosnis yang belum jelas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: