Putusan MA Terkait Batas Wilayah Muba dan Muratara Disebut Bertentangan dengan UU

Putusan MA Terkait Batas Wilayah Muba dan Muratara Disebut Bertentangan dengan UU

Kolegium Jurist Institute (KJ Institute) kembali menyelenggarakan Kegiatan Diskusi Publik dengan mengusung Tema “Eksaminasi Publik terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia: Menyoal Pengujian Batas Daerah Kabupaten Musi Banyuasin dengan Kabupaten--

Selain itu, Ibnu Sina Chandranegara selaku Guru Besar Hukum Administrasi Negara menyampaikan bahwa polemik ini terjadi ada karena perubahan cakupan wilayah Kabupaten Musi Banyuasin yang pelaksanaan perubahannya tidak melibatkan pihak terdampak tidak adanya kepastian hukum, dan tidak melaksanakan asas lex superior derogate legi inferiori.

BACA JUGA:Sekda Sumsel Lantik Pengurus Bapor Korpri

Ibnu Sina juga menyebutkan setidaknya terdapat dua isu hukum yang diakibatkan dari Permendagri No. 76 Tahun 2014.

“Pertama, adanya perubahan titik koordinat 17 sampai dengan 28 dan hilangnya pilar batas utama 01 sampai dengan 10 yang berdampak berkurangnya cakupan wilayah Kabupaten Musi Banyuasin. Kedua, penetapan titik koordinat harus mendapatkan persetujuan. Ketiga, usulan perubahan tidak melibatkan pihak terdampak. Keempat, penetapan perubahan dilakukan dalam masa demisioner dan Kelima, perubahan berdampak kepada berbagai izin usaha yang telah ada,” jelas Ibnu Sina.

Lebih lanjut mengenai persetujuan titik Koordinat, Ibnu Sina menjelaskan perubahan batas wilayah tidak hanya menimbulkan masalah pemerintahan semata. Dampaknya jauh lebih luas dan menghantam tata ekonomi serta tata sosial masyarakat.

“Dalam dunia hukum, kita mengenal asas In dubio pro lege fori yang mengandung makna bahwa jika hukum dalam suatu perselisihan tidak jelas, maka hukum forum harus diterapkan atau sebuah prinsip yang semakin relevan di tengah kekacauan ini,” jelas Ibnu.

BACA JUGA:Pj Gubernur Imbau Masyarakat Sumsel Waspadai Bencana Banjir

Masih di dalam forum yang sama, hal senada disampaikan oleh Guru Besar Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, Aidul Fitriciada Azhari.

Ia menilai, adanya adanya potensi pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH) pada perkara Batas Wilayah Daerah Kabupaten Muba dengan Kabupaten Murata, Sumatera Selatan.

Berkaitan dengan aspek kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH), Aidul Fitriciada menjelaskan terdapat asas res judicata pro veritate habetur, bahwa putusan hakim dianggap benar selama belum ada putusan lain yang membatalkan.

“Pertimbangan yuridis dan substansi putusan hakim merupakan kemandirian hakim, sehingga tidak menjadi yurisdiksi dari KEPPH. Prinsip berdisiplin tinggi dan profesionalisme hanya dapat diperiksa oleh MA atau oleh MA dan KY atas usulan KY”, terang Aidul Fitriciada.

BACA JUGA:Hadiri HUT ke-23 Kota Prabumulih, Pj Gubernur Ingatkan 7 Program Prioritas Sumsel

“Terdapat potensi pelanggaran KEPPH pada perkara Batas Wilayah Daerah Kabupaten Muba dengan Kabupaten Murata, Sumatera Selatan, pertama Pertimbangan yuridis dan substansi putusan tidak dapat dijadikan objek pemeriksaan KEPPH, terdapat dua putusan dengan pemohon sama dan pertimbangan sama, tetapi amar putusannya berbeda” lanjut Aidul Fitriciada.

Lebih lanjut dalam penilainnya Aidul Fitriciada menerangkan bahwa amar Putusan No. 71 P/HUM/2015 menunjukkan ada pelanggaran prinsip berdisiplin tinggi.

“ini sama menunjukkan ada pelanggaran prinsip berdisiplin tinggi dan prinsip profesionalisme karena seharusnya jika hanya dipertimbangkan secara formil dan tidak mempertimbangkan pokok perkara, maka seharusnya amar putusan adalah tidak diterima,” ungkap Aidul Fitriciada.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: