RUU Perampasan Aset: Antara Harapan dan Tantangan
Dr. Firmansyah, SH., M.H. Foto : DOK--
Pembatasan ini dimaksudkan agar dalam kondisi “normal”, misalnya pelakunya dapat disidangkan, kasus tetap diproses lewat hukum acara pidana biasa yang lebih menjamin hak tersangka/terdakwa dan menuntut akuntabilitas negara membuktikan kesalahan pelaku.
Sekilas, inilah terobosan utama yang bisa “memiskinkan koruptor”.
Namun, perampasan aset hanya dapat dilakukan dalam kondisi terbatas yang diatur dalam Pasal 7, yakni jika:
(a) tersangka/terdakwa meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaanya;
(b) terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum;
(c) perkara pidanannya tidak dapat disidangkan; atau
(d) terdakwa diputus bersalah, namun di kemudian hari diketahui ada aset tindak pidana yang belum dirampas.
Artinya, jika seorang pejabat yang kaya raya dengan harta tak wajar, namun bisa hidup sehat dan bisa diadili secar fisik, RUU ini tidak bisa digunakan.
Secara substantif RUU Perampasan Aset menerapkan beberapa prinsip:
Pertama, Non Conviction Based Asset Forfeiture, yang memungkinkan penyitaan dan perampasan aset yang diduga hasil tindak pidana tanpa harus menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Proses ini dapat berjalan secara paralel dengan proses pidana, atau bahkan secara tersendiri.
Tujuannya untuk memastikan aset hasil kejahatan tidak lenyap.
Kedua, Pembuktian terbalik (Reversal of Proof) : Ini adalah salah satu poin paling kontroversial.
Dalam RUU ini, jika ada aset yang diduga kuat berasal dari tindak pidana, maka pemilik asetlah yang harus membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh secara legal atau sah.
Jika pemilik tidak dapat membuktikan, maka aset dapat dirampas oleh negara. Berbeda dengan pembuktian hukum pidana konvensional, dimana beban pembuktian ada pada penuntut umum.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber: