Tapi simbolnya sama: Indonesia menunjukkan bahwa ia tidak hanya menghadap ke Barat.
Bagi Cina, Indonesia adalah pintu Asia Tenggara, dengan jalur maritim strategis dan pasar besar.
Bagi Rusia, Indonesia adalah sahabat lama sejak era Sukarno.
Bagi Korea Utara, Indonesia adalah sedikit negara yang berani menjaga hubungan diplomatik tanpa tunduk pada tekanan Amerika.
Indonesia bukan sekadar besar, tapi juga penyeimbang.
Sindiran Trump dan Ketegangan Barat
Tidak semua pihak nyaman melihat kebersamaan itu.
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, langsung menyindir keras Xi Jinping, Putin, Kim, bahkan Prabowo.
Ia menuduh pertemuan tersebut sebagai upaya “berkonspirasi melawan Amerika”.
Sindiran itu justru mengkonfirmasi satu hal: bahwa momen Beijing dianggap penting.
Amerika khawatir melihat kebangkitan poros Asia, apalagi ketika Indonesia mulai masuk ke dalam orbit itu.
Dalam kacamata Washington, kehadiran Prabowo di Beijing tidak lagi bisa dianggap biasa.
Ia adalah tanda bahwa keseimbangan dunia sedang bergeser.
Namun, jika kita melihat daftar lengkap 26 negara yang diundang, angkanya relatif kecil jika dibandingkan dengan banyaknya negara anggota PBB, tapi ada pola yang menarik terlihat.
Sebagian besar adalah negara-negara yang tidak terikat kuat dengan blok Barat: negara-negara non-blok, negara-negara dari Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO), dan negara-negara yang memiliki hubungan historis dengan Cina atau Rusia.
Ini menunjukkan bahwa Cina tidak hanya mengundang sekutu ideologis, melainkan juga mitra-mitra strategis yang penting dan relevan dalam skema tatanan dunia baru.
Indonesia, sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan anggota G20, adalah salah satu mitra kunci tersebut.