Catatan Akhir Tahun SMSI 2024: Serpihan Pemikiran Atraktif Prabowo Subianto Soal Pemberantasan Korupsi

Jumat 27-12-2024,16:07 WIB
Reporter : Theo Yusuf Ms
Editor : Andre

Dengan demikian, jika dendanya separuh dari nilai yang dicuri saja, negara masih untung.

Contoh yang paling anyar adalah kasus Harvey Moeis pidana korupsi di kasus timah yang diputus hanya 6,5 tahun, sementara kerugian negara ditaksir lebih dari Rp275 triliun, maka kerugian negara akan tambah besar jika aset terdakwa tidak dapat disita oleh negara.

Harvey yang didakwa dengan  UU Korupsi No 20 Tahun 2001 Jo. UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, cukup berada di sel hanya 1/3 dari putusannya.

Artinya, kurang dari 4 tahun yang bersangkutan sudah kembali ke masyarakat dan akan kembali sebagai seorang pengusaha.

Dalam pandangan Prabowo, hukuman seperti itu dinilai kurang adil dan tepat, pertama sumber filosofinya dari barat, dimana pada masa silam penjajah maunya menyiksa dan memenjarakan, tanpa mengkalkulasi kerugian uang negara dan kerugian rakyat atas proses hukuamnnya.

Oleh karenanya, perlu ada aturan baru yakni orang atau koruptor dipaksa untuk mengembalikan uangnya, jika tidak mau mengembalikan maka assetnya perlu dirampas untuk negara.

Inilah pemikiran progresif Prabowo dalam usaha memberntas korupsi dengan tetap menjadikan negara dan rakyat tetap untung atau tidak buntung.

Mengapa begitu? di mata Prabowo, pembuatan hukum dan pasal di masa silam masih dipenuhi dengan kebencian terhadap manusia, bukan kepada perbuatannya.

Sebut saja pembuatan Pasal 12 Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 mengatur tentang hukuman bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang terbukti menerima gratifikasi: Sanksinya, Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan Pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar. Pasal itu dirujuk dalam Pasal 419 KUHP warisan kolonial.

Sekaratnya Demokrasi

Gagasan Prabowo tentang pemberantasan korupsi tidak harus berbanding lurus dengan sistem yang menganut demokrasi, di mana "doe process of law" adalah salah satu adagium, semua koruptor harus diproses sesuai dengn hukum yang berlaku dengan mempertimbangkan hak asasi manusia.

Sekilas pernyataan itu enak didengar, namun dalam pelaksanaanya, seolah menjadi pil pahit bagi rakyat miskin.

Mengapa? Dalam sistem negara demokrasi ternyata ada juga demokrasi yang   "sekarat".

Demokrasi sekarat atau matinya demokrasi, sebagaimana diulas oleh Steven Levitsky dan Daneil Ziblatt, "how Democrasies Die" atau matinya Demokrasi (Steven 2021).

Mereka menyebutkan matinya demokrasi antara lain ketika rakyat yang berkuasa, tetapi sesunguhnya kekuasaan itu dikendalikan oleh pemilik modal, pemilik media massa, para begundal hukum dan pimpinan partai.

Ziblatt mencontohkan, Fuji Mori, anak keturunan Jepang menjadi Presiden di Peru tahun 1990-an mengalahkan Vargas Lioasa, sastrawan Peru yang mendapatkan dukungan partai, konglomerat dan media massa setempat.

Kategori :

Terpopuler