MUARA ENIM, ENIMEKSPRES.CO.ID - Pemkab Muara Enim melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Muara Enim menggandeng SETARA Insitute guna mengejar sebagai Kabupaten dengan yang baik dalam Indeks Kota Toleran (IKT).
Rapat terkait IKT langsung dipimpin Kepala Bappeda Muara Enim H. Emran Tabrani yang diwakili Kabid Ekonomi SDA dan Pendanaan Pembangunan Resza Dwi Artha, di Ruang Rapat Pangripta Sriwijaya Bappeda Muara Enim.
Kabid Ekonomi SDA dan Pendanaan Pembangunan, Resza Dwi Artha, berharap masukan dari pemangku kepentingan seperti Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia, Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Baznas serta Pemkab Muara Enim sendiri bisa memberikan nilai sebenarnya untuk penyusunan IKT Kabupaten Muara Enim pada misi ke-2 RPD Kabupaten Muara Enim 2024-2026, yaitu meningkatkan kualitas SDM yang beriman, bertakwa, cerdas, dan mandiri.
Dijelaskannya, hasil rapat paparan awal pendahuluan penyusunan indeks kota toleran, yakni indeks kota toleransi Kabupaten Muara Enim telah memasuki tahun ke-3 sejak pertama kali dilakukan tahun 2022, 2023, 2024.
BACA JUGA:Antisipasi Kecelakaan Lalu Lintas, Satlantas Polres Muara Enim Pasang Spanduk Imbauan, Ini Isinya
Studi ini merupakan pengukuran kinerja daerah, meliputi Pemerintah Daerah dan elemen masyarakat dalam mengelola keberagamaan, toleransi, dan inklusis sosial.
"Diharapkan peran serta aktif OPD dalam membantu penyusunan indeks kota toleran dalam pengisian kuisioner ataupun penyedia supporting data," pintanya.
Dijelaskannya, penyusunan indeks kota tolerans bertujuan untuk memberikan basline dan status kinerja Pemerintah dan masyarakat terhadap toleransi di suatu kota dan digunakan sebagai bahan evaluasi terhadap pencapaian indikator kinerja utama.
Selanjutnya yang akan dilaksanakan oleh tim tenaga ahli adalah pengumpulan data pengisian kuisioner dan wawancara mendalam kepada stakeholder terkait.
BACA JUGA:Pj Bupati Muara Enim Tinjau Jalan Longsor di Desa Kasai Sungai Rotan
Kendala yang ditemui di lapangan terkait toleransi antar umat beragama adalah pembangunan rumah ibadah yang minoritas, di mana sebagian masyarakat tidak menerima pembangunan rumah ibadah tersebut dan telah diselesaikan oleh forum kerukunan antar umat beragama (FKUB) dengan tidak menerbitkan rekomendasi. (*)